Konglomerat Indonesia yang Rambah Bisnis Belanja Online
Yohana Artha Uly, Jurnalis
11 Maret 2016
Pemerintah Indonesia targetkan nilai transaksi e-commerce
mencapai USD130 miliar atau setara dengan Rp1.699 triliun (Rp13.070 per
USD) pada tahun 2020 mendatang. Adapun, pada tahun 2014 nilai transaksi e-commerce sendiri mencapai USD12 miliar.
Melonjaknya industri e-commerce tak dapat terelakkan
akibat pergeseran kebiasaan konsumen yang sebelumnya berbelanja langsung
ke toko kini beralih pada kebiasaan digital shopping atau online shopping.
Melihat kondisi ini, maka untuk tetap relevan, mereka yang memiliki pasar ritel tradisional di Indonesia harus segera berpindah pada industri e-commerce. Satu per satu, konglomerat di Indonesia pun kini menyatakan perluasan bisnisnya merambah ekonomi digital.
Berikut daftar konglomerat Indonesia yang sudah maupun akan memasuki ranah bisnis e-commerce, seperti yang dilansir dari Techinasia, (11/3/2016)
Menurut Forbes, keluarga Hartono adalah orang terkaya nomor satu
di Indonesia. Total kekayaannya mencapai USD15,5 miliar (sekitar Rp200
triliun). Keluarganya adalah pemilik perusahaan rokok Djarum, selain
itu Ia juga salah satu pemegang saham Bank Central Asia (BCA).
Salah satu anak dari keluarga Hartono, yaitu Martin Hartono, terjun ke
bisnis digital dengan mendirikan modal ventura bernama GDP Venture.
Perusahaan modal ventura ini telah banyak memberi investasi pada startup
lokal dari berbagai sektor, seperti Beritagar, KASKUS, Kurio, dan
Blibli yang rilis pada tahun 2011. Ini membuat Djarum Group masuk menjadi
pemain bisnis e-commerce lokal.
2. Anthony Salim
CEO Salim Group, Anthony Salim adalah orang terkaya ketiga di
Indonesia dengan kekayaan USD5,4 miliar (sekitar Rp72 triliun). Salim
Group memiliki banyak lini bisnis, mulai dari makanan, telekomunikasi,
ritel, properti, dan juga perbankan. Salah satunya bisnis makanan
Indofood dan waralaba ritel Indomaret. Salim Group memang belum terjun resmi di ranah e-commerce. Namun,
Salim Group berencana akan meluncurkan situs e-commerce melalui kerja
sama dengan konglomerat ritel asal Korea Selatan, yaitu Lotte Group.
Keduanya berencana akan meluncurkan platform e-commerce, kemudian diikuti dengan peluncuran perusahaan
baru di tahun depan 2019.
3. Eka Tjipta Widjaja
Dengan kekayaan USD5,3 juta (sekitar Rp70 triliun), Eka Tjipta Widjaja adalah orang terkaya nomor empat di Indonesia versi Forbes.Pemilik Sinar Mas Group ini juga merupakan partner terbesar e-commerce raksasa China, Alibaba.com di Indonesia. Di tanah air Alibaba beroperasi dengan nama AliExpress.Tak hanya itu, Sinar mas juga aktif sebagai modal ventura yang bekerja sama dengan perusahaan ventura Thailand, Ardent Capital. Beberapa startup teknologi yang berada di bawah Ardent Capital adalah aCommerce, Moxy (sekarang bernama Orami), Snapcart, dan Brizzy.
Para Konglomerat Indonesia Ekspansi Di Bisnis Fintech
Ahmad Zaenudin
18 Januari 2018
Smartphone atau ponsel pintar saat ini tak hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi tapi lebih luas lagi sebagai instrumen
transaksi. Secara spesifik, ponsel masa kini menjadi bagian penting
pendukung apa yang disebut sebagai financial technology
(fintech), yang menjadi alternatif penyedia jasa keuangan selain bank.
Fintech pada suatu titik akan diperebutkan para pemain sektor keuangan
fintech
untuk dijadikan “kantor cabang” masing-masing. Kelebihannya bisa
menjangkau lebih luas tanpa sekat-sekat dibandingkan perbankan terutama
dalam konteks fintech bidang pinjam-meminjam uang.
Di luar itu, fintech memiliki cukup banyak ragam. Paling populer di bidang penyediaan layanan uang elektronik, baik dalam bentuk e-wallet maupun e-money. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 menyatakan bahwa e-wallet merupakan layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran.
Di luar itu, fintech memiliki cukup banyak ragam. Paling populer di bidang penyediaan layanan uang elektronik, baik dalam bentuk e-wallet maupun e-money. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 menyatakan bahwa e-wallet merupakan layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran antara lain alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik, yang dapat juga menampung dana, untuk melakukan pembayaran.
Djarum Group misalnya, konglomerasi yang dimiliki oleh Hartono bersaudara yang memiliki kekayaan $32,3 miliar ini, melalui firma penanam modal startup GDP Venture, memiliki produk fintech dengan nama Kaspay.
Kaspay merupakan sistem pembayaran online yang dibuat oleh PT Darta Media Indonesia, bagian dari GDP Venture. Layanan ini sekilas menyerupai Paypal, salah satu pelopor di dunia fintech. Kaspay, hingga saat ini belum tersedia dalam bentuk aplikasi smartphone. Namun, ia dapat diakses melalui beberapa layanan pesan instan seperti Telegram, Line, Facebook Messenger, dan aplikasi pesan instan turunan Kaskus, yaitu Kaskus Chat yang berada di bawah grup yang sama.
Selain melalui GDP Venture, Djarum Group pun memasuki dunia fintech melalui Bank BCA. Masuknya Djarum Group ke dunia fintech melalui Bank BCA memang tak mengherankan. Saat kini, 54,94 persen saham bank BCA dikuasai PT Dwimuria Investama Andalan, perusahaan yang dimiliki Hartono bersaudara.
Melalui BCA, Djarum punya produk fintech bernama Sakuku, suatu layanan e-wallet yang dapat digunakan menyimpan uang hingga Rp10 juta. Sakuku kali pertama diluncurkan pada September 2015 lalu dan tersedia di Android maupun iPhone.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar